SEJARAH PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN PERBANKAN - EDUCATED12


Pada akhir pemerintahan Orde Lama (1959-1965) dikeluarkannya kebijakan yang berdampak pada kinerja perbankan sampai awal 1960an, yaitu dikeluarkannya peraturan pemerintah dalam pengendalian moneter tanggal 24 Agustus 1959 yang isinya:
1.       Kebijakan pemotongan nilai uang kertas atau sanering. Kebijakan ini memotong nilai uang menjadi tinggal sepersepuluhnya.
2.     Pembekuan simpanan di bank-bank sebesar 90%untuk jumlah di atas Rp. 25.000,-
3.     Penghapusan sistem bukti ekspor menjadi pungutan ekspor dan pungutan impor.
Masa resesi keuangan terjadi antara tahun 1966-1983, yakni saat peralihan orede lama ke orde baru. Kebijakan resesi meliputi program stabilisasi dan rehabilitasi. Untuk menunjang program tersebut, pada tanggal 3 Oktober 1966 pemerintah mengeluarkan peraturan yang antara lain berisi:
1.     Peninjauan kembali kredit perbankan dengan memberikan batasan dalam jumlah kredit, agunan dan tingkat suku bunga.
2.   Diberlakukan prinsip anggaran pendapatan dan belanja negara berimbang sebagai salah satu upaya pengendalian inflasi.
3.   Adanya kebijakan debirokratisasi yang ditujukan untuk mengurangi intervensi pemerintah dalam perekonomian agar tercipta sistem ekonomi yang demokratis.
4.   Kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang bertujuan memberikan porsi yang lebih besar bagi eksportir dan mengurangi intervensi pemerintah dalam tata niaga ekspor dengan sistem insentif ekspor.
5.    Kebijakan penundaan pembayaran uatng luar negeri dan penarikan utang-utang luaar negeri baru yang bertujuan untuk mengurangi tekanan neraca pembayaran.

DEREGULASI PERBANKAN
Isi paket kebijakan Juni 1983 (Pakjun ’83):
1.     Penghapusan pagu kredit sehingga perbankan dapat memberikan kredit secara lebih fleksibel sesuai dengan kemampuan.
2.   Bank diberi kebebasan dalam menentukan suku bunga, baik deposito, tabungan maupun kredit dalam meningkatkan mobilisasi dana dari dan ke masyarakat.
3.   Pengaturan volume kredit likuiditas dapat megurangi ketergantungan bank-bank kepada bank sentral dengan memperkenalkan alat kebijakan moneter berupa Sertifikat Bank Indonesia (SBI)dan fasilitas diskonto.

Isi paket kebijakan Oktober 1988 (Pakto ’88):
1.     Pembukaan pasar bagi industri perbankan nasional dengan cara memberi kemudahan perizinan bagi bank devisa dan kemudahan untuk membuka kantor cabang.
2.   Penetapan pajak atas deposito sebesar 15%, sama halnya dengan pajak keuntungan dari sekuritas dan obligasi.
3.   Penurunan Giro Wajib Minimum dari 15% utang lancar menjadi 2% dari dana pihak ketiga.
4.   Penentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit dengan batasan sampai 20% dari total modal kepada peminjam tunggal atau 50% kepda peminjam grup.
5.    Penempatan dana BUMN di bank-bank pemerintah sampai 50% dan 20% pada setiap bank lainnya.
6.   Diperbolehkannya bank-bank melakukan diferensiasi produk DPK baik dalam tabungan maupun deposito.
7.    Adanya kelonggaran persyaratan untuk memperoleh izin perdagangan valuta asing.


PERBANKAN PADA PERIODE KRISIS MONETER 1997/1998
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia merupakan dampak krisis moneter yang terjadi di Asia pada tahun 1997. Krisis perekonomian Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1997-1998. Hal tersebut menyebabkan pemerintah membuat sebuah kebijakan yang terkenal dengan BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kebijakan ini paling banyak disorot karena menyangkut aliran dana yang sangat besar dan sangat berpengaruh bagi pengelolaan keuangan negara pasca krisis.

Banyaknya jumlah bank sejak kebijakan Pakto ’88 menyebabkan terjadinya persaingan antar bank yang lebih tinggi. Di bank-bank swasta banyak kredit yang tersedot hanya kepada beberapa individu atau kelompok usaha yang terkait dengan pihak bank. Di bank milik pemerintah terjadi campur tangan berlebihan sehingga sangat rentan terhadap penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat. Kredit macet yang terjadi pada saat krisis mencapai Rp 10,2 triliun.

Dimensi krisis nilai tukar pada Agustus 1997 sangatlah besar dan implikasinya sangat luas. Pengetatan likuiditas dilakukan pemerintah untuk mengatasi depresi rupiah memberikan dampak buruk bagi perbankan dan sektor riil. Terlebih lagi, penutupan 16 bank pada tanggal 1 November 1997 yang dimaksudkan mengembalikan kepercayaanmasyarakat terhadap perbankan, ternyata mengakibatkan keadaan sebaliknya.

DAMPAK KRISIS TERHADAP PERBANKAN
Dampak terbesar krisis moneter bagi perbankan adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank. Dilikuidasinya 16 bank pada tahun 1997 merupakan bukti perbankan Indonesia

sangat rapuh. Lumpuhnya sektor perbankan saat itu sangat berpengaruh dalam kegiatan ekonomi masyarakat terutama yang menggunakan fasilitas bank.

Upaya untuk menyehatkan bank dimulai pada tahun 1998 dengan proses due dilligence oleh BPPN terhadap 176 bank nasional dalam rangka rekapitalisasi perbankan. Ada 99 bank yang masuk dalam kategori A, 49 bank kategori B, dan 28 bank kategori C. Dasar dari pengkategorian tersebut pada Rasio Kecukupan Modal/Capital Adequency Ratio (CAR) dengan ketentuan sebagai berikut:
1.     Kategori A untuk bank yang memiliki CAR di atas 4%.
2.   Kategori B untuk bank yang memiliki CAR antara 4% sampai 25%.
3.   Kategori C untuk bank yang memiliki CAR di bawah 25%.

Beberapa cara yang telah ditempuh pemerintah untuk menyehatkan perbankan Indonesia, antara lain sebagai berikut:
1.     Likuidasi Bank.
2.   Penggabungan Bank (Merger).
3.   Restrukturisasi Perbankan.
4.   Rekapitalisasi perbankan.

PERBANKAN PASCA KRISIS
Sampai dengan tahun 2003, perbankan Indonesia boleh dikatakan disibukkan oleh kegiatan konsolidasi, melakukan berbagai efisiensi dari soal operasional, jaringan, kantor cabang, serta efisiensi biaya modal dengan membuang beban. Yang paling terlihat adalah pergeseran sumber dana dari dana modal berupa deposito ke dana murah berupa tabungan dan giro. Tahun 2004, perbankan nasional memasuki pertumbuhan tinggi. Ini adalah tahun milik sekor perbankan. Emiten perbankan memimpin pergerakan saham di pasar modal.

ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA (API)
API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Terdapat enam pilar sistem perbankan nasional dalam API, yaitu:
1.     Struktur perbankan yang sehat,
2.   Sistem pengaturan yang efektif,
3.   Sistem pengawasan yang independen dan efektif,
4.   Industri perbankan yang kuat,
5.    Infrastruktur pendukung yang mencukupi,
6.   Perlindungan konsumen.

KEUANGAN MIKRO
Menurut Krisnamurti (2003), keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha penanggulangan kemiskinan yang efektif.peningkatan akses dan pengadaan sarana penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan kelompok miskin dan peluang merekauntuk keluar dari kemiskinan, melalui:
1.     Tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak berfluktuasi,
2.   Mengelola resiko denegan lebih baik,
3.   Secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset,
4.   Mengembangkan kegiatan usaha mikronya,
5.    Menguatkan kapasitas perolehan pendapatannya, dan
6.   Dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik.

KEUANGAN NEGARA DAN APBN KONSEP DASAR KEUANGAN NEGARA
APBN sering diartikan sebagai daftar rinci mengenai penerimaan dan pengeluaran suatu negara selama periode 1 tahun. Untuk membiayai pencapaian tujuan nasional, pemerintah memperoleh amanat dari rakyat menggali sumber-sumber penerimaan seperti pajak, penggalian SDA, dan laba BUMN. Pemerintah juga menggunakan sumber penerimaan luar negeri seperti utang dan hibah. Dipandu adanya tujuan nasional, pemerintah menentukan macam-macam pengeluaran (belanja) negara seperti gaji karyawan, subsidi, membiayai pembangunan, belanja daerah, termasuk membayar utang dalam dan luar negeri. Dapat dipahami bahwa tujuan penyusunan APBN adalah untuk mendorong terwujudnya tujuan-tujuan nasional di atas. Dalam arti lain, APBN berfungsi sebagai alat untuk membiayai pencapaian tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

KEBIJAKAN ANGGARAN
Kebijakan anggaran dapat diartikan sebagai kebijakan untuk mengatur penerimaan dan pengeluaran negara agar sesuai dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Kebijakan anggaran yang berpihak pada pencapaian tujuan nasinal perlu diterapkan dengan penuh kesadaran, komitmen, dan tanggung jawab. Beratnya beban anggaran pemerintah seringkali bukan karena digunakan bagi kemakmuran rakyat melainkan karena tidak efektifnya penggalian sumber-sumber penerimaan negara dan alokasi karena kesalahan kebijakan masa lalu. APBN yang berfungsi sebagai sarana peningkatan kesejahteraan rakyat seharusnya dapat menekankan pada fungsi turunannya sebagai instrumen pemerataan pendapatan dan kekayaan.


Sumber : Universitas Terbuka(Rangkuman Mata Kuliah Perekonomian Indonesia (ESPA4314) Modul 3)


Silakan Berkomentar yang Sopan, Komunikatif dan Membangun.
Terima Kasih atas Kunjungan Anda.

Emoticon